Pembangunan jelas memerlukan tanah untuk
mendirikan infrastruktur fisik sebagai salah satu wujud pembangunan selain
pembangunan sumber daya manusia di lokasi pembangunan itu sendiri. Hadirnya
pembangunan tentu membawa kehancuran bagi masyarakat adat. Maka, perlu berikan kesadaran dan pemahaman baru kedalam
masyarakat local. Bertemunya ide baru pembangunan dengan kehidupan masyarakat
lokal mendatangkan berbagai implikasi. Cara pandang program pembangunan
terhadap masyarakat bertemu dengan cara pandang masyarakat melihat pembangunan
menuju kehancuran dan pemusnahkan bagi masyarakat adat.
![]() |
Goo_Koteka_Che |
Seorang tete
Goo mengungkapkan, “Orang Papua itu belum mampu kelola hidup. Hutan itu
yang hidupi orang Papua. Orang Papua tidak bisa kelola tanah yang tandus.
Bagaimana kita mau kelola hutan kalau hutan sudah dijual
ke pengusaha.”
Orang Mee yang
menyebut diri mereka “manusia utama”memaknai tanah (Maki) sebagai mama (Akukai)
yang memberikan kehidupan dari tanah maupun manusia papua. Jika tanah tidak
diperhatikan maka hubungan manusia,Tuhan, dan alam itu tidak akan ada. Orang
Mee sering menyebut para penjual tanah dengan Dimi Beu (orang
gila atau orang yang tidak mempunyai pikiran). Tanah menurut orang Mee juga
memiliki klasifikasinya sendiri yaitu tanah yang sakral, tanah untuk mata
pencaharian,dan tanah untuk umum.
terjadi proses klaim
penguasa kolonial terhadap tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi
investasi asing sehingga tanah ulayat diserahkan kepada negara kapital. Kondisi
seperti ini jelas merugikan masyarakat adat yang tidak bisa mendaku tanah
dimana masyarakat adat dilahirkan.
Maka,mengembalikan tanah adat kepada masyarakat adat dalam
bentuk pemetaan, pengakuan,dan pengelolaan tanah ulayat harus dipikirkan dengan
matang oleh masyarakat adat.
Oleh Goo_Koteka Che.
Tidak ada komentar: