Orang asli Papua benar-benar
terpinggirkan dan dikuasai dari tanah leluhurnya sendiri. Hal ini, dapat
dilihat dari contoh, mama-mama pedagang asli Papua berjualan di pinggir jalan
dan emperan-emperan tokoh. Mereka menahan hantaman teriknya matahari dan derasnya
hujan dengan beralaskan lantai tanah dan beratap langit. Hanya demi mencari
nafkah hidup sehari-hari.
Untuk menanggapi hak hidup
mereka, Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), yang terdiri dari
organisasi-organisasi telah berupaya untuk menuntut hak hidup mama-mama ini.
SOLPAP berjuang ke pemerintah dan meminta
pembangunan pasar yang layak bagi mama-mama Papua, namun sampai saat ini pasar
tersebut belum jadi. Pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah Indonesia
di Papua (Gubernur, DPRP dan Walikota Jayapura) tak pernah menanggapi usulan
ini. Akibatnya, mama-mama Papua masih berdagang di tempat yang tidak layak.
Sementara orang BBMJ (Bugis,
Buton, Makasar dan Jawa) mendapatkan tempat yang layak. Mereka benar-benar
menikmati fasilitas pemerintah Indonesia di Papua dalam kerangka Otsus di
Papua. Itu wajar, karena orang asli Papua bukan orang Indonesia, sehingga fasilitas
yang disiapkan Indonesia dinikmati oleh rakyat Indonesia yang berada di negri
Papua ini. Katanya para pendatang dan Otsus memberdayakan orang asli Papua.
Realitasnya tidak seperti itu. Kaum non Papua dan Otsus menjadi penguasa yang
menguasai orang asli Papua dengan segala macam trik. (Socratez Sofyan Yoman, Pintu Menuju Papua Merdeka: Pejanju=ian New
York 15 Agustus 1962 dan PEPERA 1969 Hanya Sandiwara Politik Amerika,
Indonesia, Belanda dan PBB, 2000)
Dengan termarginalnya rakyat
asli Papua di tanahnya sendiri adalah tidak mendapatkan fasilitas yang layak,
namun tetap semangat berjualan di berjualan di tempat yang seadanya. Ini
merupakan penindasan dan tidak adanya keadilan juga pemerataan. Apakah ini
kalah saing? (Yoman, 2000).
Bukan hanya dalam hal ekonomi
saja, melainkan dalam segala segi kehidupan; politik, kebudayaan, sosial, dan
sebagainya. Orang asli Papua mendapatkan tekanan mental maupun fisik yang
dahsyat. Mereka diperlakukan tidak adil dan benar. Sampai diperbodohi secara
licik dengan berbagai strategi yang dimainkan. Yang membuat orang asli
Papua “bimbang”. Bimbang dalam arti tidak memegang satu prinsip yang
diyakininya, melaikan mengikuti arus yang mengombang-abingkan hidup mereka
sendiri. (GooKoteka)
Tidak ada komentar: