Bagi
orang Papua, khususnya saudara-saudari kita suku Mee mengatakan, “tanah adalah ibu.” Mereka mengatakan
tanah sebagai ibu karena melalui tanah kita diasuh, asi dan asa. Kita diberi
makan dari tanah. Kita membangun rumah di atas tanah dan kita hidup di atas
tanah. Supaya kita diasa sehingga dengan pikiran jernih dan hati penuh
bersyukur membaktikan diri pada Tuhan atas semua anugrah yang diberikan.
Akhir-akhir
ini, isu mengglobal di bumi Papua ialah penjualan tanah. Ada saja orang Papua
yang tidak menghargai tanah sebagai ibu yang menyusuinya, maka tanah diganti
dengan uang. Walaupun nilai uang tidak sebanding kualitas tanah.
Bagi
anda yang menjual tanah, entah sepetak atau sebidang kecil saja, kami
melihat bahwa anda tidak menghargai tanah sebagai mamamu. Mamamu yang dari
waktu ke waktu, dari tete-nenek moyangmu hingga kini, senantiasa mengasuh dan
menyusui dan
mengasa. Jika kita menjual, mungkinkah kehidupan kita
selanjutnya akan menerima asuhan, asian
dan asaan yang berlimpah? Adalah sesuatu hal yang mustahil jika memang
engkau memperoleh kembali. Terutama anak cucumu yang engkau tambah dan
kembangkan. Karena tanah (ibu) yang tadinya milikmu, kini bukan lagi milikmu.
Kami
berharap “lebih baik orang yang menjual
tanah mati, dari pada menyusahkan anak cucu di kemudian hari.” Pernyataan
ini, kami beritahu secara keras dan kasar karena penjualan tanah sungguh
tidak baik juga tidak menghargai tanah sebagai mama yang senantiasa memberikan kehidupan.
Kami
jengkel karena orang Papua mempunyai tangan untuk bekerja tetapi kelihatannya
tidak mau bekerja dan hanya menjual saja. Adakah anda-anda yang menjual tanah
sembarang adalah bukan manusia? Karena kalau manusia bukan anda menjual
melainkan membuat ladang perkebunan atau membangun rumah sebagai tempat
tinggal. Dan bekerja, sebab kerja
adalah identik dengan kehidupan manusia.
Sekarang
orang Papua sudah mulai mengungsi ke dusun-dusun, ke lereng-lereng perbukutan.
Bahkan ada yang di atas gunung-gunung yang tinggi, di atas laut dan danau. Kami tidak tahu kehidupan orang Papua beberapa tahun
mendatang. Apakah orang Papua akan tinggal di udara dengan sayap atau di dasar
laut dengan sisiknya.
Sungguh
orang Papua tidak menghargai karunia pemberian Allah yang penuh rahmat. Allah
memberikan yang paling terindah bagi orang Papua, justru orang Papua mau
memilih yang paling pahit
dan menderita.
Sekarang
kami berikan satu ilusi mengenai tanah yang sedang dijual ini. Misalya, tanah
yang dijual kini, sudah dijual oleh tete nenek moyang zaman dahulu, apa yang
anda alami kini. Pastikan anda menderita karena anda tidak mempunyai tanah.
Nah,
persis situasi seperti itulah yang akan dihadapi oleh anak cucu masa depan.
Maka kalau orang Papua mau menjual tanah, harus mempertimbangkan secara masak.
Namun kami menganjurkan lebih baik saya memiliki sebidang tanah dari pada saya
memiliki berjuta-juta, bahkan bermiliaran uang, tetapi akan habis suatu kelak,
dibandingkan dengan tanah yang tak pernah habis dimakan waktu.
Maksud
kami mau memberitahukan, bahwa orang Papua tidak boleh menjual tanah karena
anda juga mempunyai tangan untuk menggarap. Masa orang Papua mau kalah dengan
orang luar. Ketika orang Papua tidak mau
bekerja lalu menjual tanah kepada orang luar. Bukankah kita tidak malu?
Makanya, kalau malu, Tuhan menciptakan seluruh anggota tubuh untuk bekerja
memelihara, merawat dan menyempurnakan dunia. Sehingga harus bekerja bukan
menjual dan menonton saja.
Yang
lebih parah lagi,
mereka yang menjual berhektar-hektar tanah, tetapi uang yang didapatkan
berfoya-foya dengan alat-alat elektronik. Bukankah alat elektronik akan
berkarat dan rusak dalam sekejap
perjalanan jelang waktu?
Maka
bagi pribadi saya, tanah adalah mamaku yang kuterima dari Allah sebagai anugrah
terindah. Untuk itu, apa pun bendanya, berapa pun uangnya yang membayar mamaku,
biar uang dan bendamu adalah milikmu. Tanah adalah milikku selamanya. Dan tanah
adalah warisan yang kuterima dari Allah melalui tete-nenek moyangku dan akan
menjadi ahli waris anak cucuku pula.
Saya
tetap berprinsip demikian,
karena saya tidak mungkin dapat menciptakan tanah segenggam pun. Apa lagi yang
berhektar-hektar. Sehingga
tanah yang diberikan Tuhan adalah milikku, yang harus kugarap sehingga menjadi
sebuah kebun yang darinya dapat menghidupiku, di hari-hari hidupku. Dapat
menghidupi anak-anak cucuku di masa
mendatang. Karena tanah itu jugalah
yang menghidupi tete dan nenek moyangku di masa silam.
oleh:Yesaya Koteka Goo Mahasiswa Papua Kuliah Jogyakarta.
oleh:Yesaya Koteka Goo Mahasiswa Papua Kuliah Jogyakarta.
Tidak ada komentar: