Siapa saja yang
tinggal di Tanah Papua dewasa ini sudah terbiasa dengan adanya konflik, dan
mungkin juga menyimpan ingatan akan penderitaan, atau sebaliknya akan
kegembiraannya sewaktu suatu konflik dapat diatasi. Ada bermacam-macam konflik;
bagi seseorang sumber konflik terletak
dalam kehidupan keluarga, sedangkan bagi yang lain konflik di tempat kerjanya;
bagi yang lain lagi konflik terletak dalam hubungan pribadi dengan seseorang
atau sekelompok orang. Pastilah ada juga yang merasa bahwa konflik utama dialami
di tingkat ekonomi (pendapatan tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya
secara layak) atau tingkat pemenuhan kebutuhan yang lain, termasuk
aspirasi serta harapannya ke depan.
Dengan demikian konflik adalah teman hidup setiap warga di Papua.
Untuk
menggambarkan secara lebih sistematis apa saja yang merupakan sumber-sumber
konflik di Papua, kami membedakan empat sumber yang diuraikan seperti
dibawah ini:
[1] suasana peralihan (budaya)
[2] suasana kependudukan (kemajemukan)
[3] suasana sosial ekonomis (kesejahteraan)
[4] suasana sosial politik (hak-hak dasar)
SUASANA PERALIHAN
Bukan rahasia lagi
bahwa dunia hari ini berbeda dengan dunia kita lima puluh tahun yang lalu.
Kalau kita mengambil waktu untuk duduk dengan tenang sambil membicarakan masalah-masalah
masa kini sering muncul cerita-cerita bahwa dahulu semuanya seakan-akan begitu
jelas. Kita mempunyai adat yang dulunya dapat mengatur kehidupan bersama
sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar dan kelestarian kehidupan baik
perorangan maupun kelompok terjamin. Inti dari adat adalah sejumlah pegangan
dan nilai yang diakui bersama dan ditegakan bersama; kepemimpinan, peraturan
pergaulan, pembagian peluang ekonomi jelas dan melayani kesejahteraan para
warga, pegangan religius yang terungkap dalam pelbagai seremoni adat. Para
warga diantar masuk kedalam kehidupan sosial serta diajarkan tentang pegangan
nilainya secara bertahap (melalui inisiasi, pendidikan dalam keluarga, dan
seterusnya).
Dunia dewasa ini
terasa begitu berubah dari tahun-tahun lalu; sepertinya kita sudah kehilangan
segala macam pegangan, karena pengaruh / tawaran begitu banyak dan
bermacam-macam yang membuat kita menjadi bingung. Apalagi dengan bertambahnya
sarana komunikasi, dunia kita makin diperluas sampai kita merasa “sesak nafas”
untuk meresapi semuanya itu. Sangat melelahkan, terasa seakan-akan kita
ditinggalkan dengan ”tangan hampa”. Sangat terasa juga, kalau misalnya
berhadapan dengan penyebaran pesat ‘penyakit maut’, HIV/AIDS, di Papua yang
untuk sebagian bisa terjadi karena pegangan moral / kelakuan seksual ternyata
tidak jelas lagi. Dulu dalam adat diatur dengan ketat, sekarang seks ‘dapat
dibeli’ tanpa membawa konsekwensi / sanksi langsung bagi pribadi orangnya,
namun membawa bahaya besar yang tersembunyi dan pelan-pelan menghancurkan
kehidupan bersama. Apalagi ada yang lebih mudah menerima segala macam masukan
yang baru ini, sehingga tercipta suatu kesenjangan antara generasi, antara anak
dan orang tuanya, antara mereka yang terdidik dan yang tidak berpeluang untuk
menikmati pendidikan bermutu.
Jelas bahwa segala
perubahan yang begitu cepat menimbulkan suatu ketegangan dalam diri kita maupun
dalam kehidupan bersama, karena ternyata belum ditemukan suatu “adat baru”
(pegangan nilai) yang diakui dan ditegakkan bersama. Kesemrawutan ini sangat
mengganggu dan membuat kebanyakan dari antara kita bermimpi kembali kepada
suasana dahulu kala. Namun, rupanya kita dipanggil untuk hidup pada hari ini
dalam suasana abad keduapuluhsatu, maka kita tidak luput dari perjuangan pribadi
maupun bersama untuk mencari jalan dalam sejarah dewasa ini. Namun tentu juga
bahwa perjuangan ini membawaserta ketegangan, beda pendapat, beda kepentingan
sehingga terbukalah peluang konflik, baik antar pribadi orang maupun antar
kelompok.
SUASANA KEPENDUDUKAN
Lima puluh tahun
lalu penduduk asli di Papua merupakan 90% dari seluruh warga di Papua. Walau
bangsa Papua sangat berbeda-beda suku dan bahasanya. Namun terdapat suatu
kesamaan yang sangat kuat dalam asal-usulnya dan juga terungkap dalam banyak
kesamaan dalam latar belakang budaya (rumpun Melanesia/Austronesia). Tidak
sulit untuk saling mengakui keberadaannya, sambil menerima bahwa seorang Papua
dari wilayah Mimika atau Biak memang
sangat berbeda dengan seorang Papua yang berasal dari Puncak Jaya atau
Lembah Balim. Terdapat suatu kekayaan dalam keanekaragaman itu dimana unsur
kesamaan dihayati dengan lebih kuat daripada unsur perbedaan. Sama-sama orang
Papua toh ! Apalagi kenyataan ini sangat dihayati bila berhadapan dengan bangsa
/ suku dari luar Tanah Papua.
Nah, dunia
sebagaimana digambarkan di atas sudah tidak ada lagi, malahan tidak mustahil
bahwa warga asli Papua kini menjadi suatu minoritas di Tanah Papua. Banyak
penduduk datang dari luar Tanah Papua dan mulai mencari dasar hidupnya di Papua.
Proses demikian berjalan begitu pesat (dan didorong oleh pemerintah pusat),
membuat banyak orang protes karena mulai takut kehilangan peluang hidupnya atau
karena merasa bahwa perlahan-pelahan mereka (warga asli) tidak diakui lagi
sebagai ‘tuan rumah’. Apalagi muncul perbedaan ungkapan budaya, gaya hidup,
gaya religiositas, daya penyesuaian, perbedaan kedudukan, kekuasaan, dsb.
Banyak warga
masyarakat tradisional mengalami bahwa apa yang mereka hargai dan lestarikan
selama sekian lama tiba-tiba dinilai “tidak laku” lagi, karena tidak modern
atau malahan dinilai primitif. Kenyataan semacam itu sangat sulit diterima
bahkan cenderung menimbulkan ketegangan dan perasaan marah pada mereka yang
dinilai ketinggalan zaman; atau menimbulkan perasaan minder pada pihak yang
dinilai tradisional, sedangkan pihak dari luar (yang menilai) merasa diri
mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan yang lain ‘tra laku’.
Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan membuat banyak warga terluka
begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang merasa dicap ‘bodoh dan
miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu peran aktif dalam kehidupan
kemasyarakatan, atau kehidupan menggereja, karena mereka merasa diri tidak
diakui sebagai manusia sejati dan semartabat dengan siapa saja dari luar.
Ternyata
kemajemukan kependudukan membawa serta segala macam gejala dimana perbedaan
menjadi unsur yang lebih ditonjolkan daripada unsur kesamaan. Kenyataan
demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya konflik.
SUASANA SOSIAL EKONOMIS
Sumber konflik
tadi (kemajemukan kependudukan) masih dipertajam lagi bila dikaitkan dengan
perbedaan kesejahteraan atau taraf ekonomi antar warga. Entah kenapa, namun
kenyataan bahwa warga dari luar Papua sering juga menduduki posisi yang lebih
menguntungkan secara ekonomis. Coba kita lihat saja di pasar dimana para
pedagang asli sering duduk di lantai saja sedangkan kios-kios dimiliki orang
dari luar. Perbedaan ini sangat mudah menimbulkan kecemburuan dan benci,
sekalipun ada orang dari luar yang sebenarnya ingin bersikap bersahabat dengan
warga asli, sambil sendiri memperjuangkan perbaikan nasibnya yang adalah haknya
pula. Perbedaan taraf hidup mudah dapat dikaitkan dengan perbedaan lain yang
menonjol, yakni: perbedaan etnis, agama, budaya, pandangan politik, bahasa,
dsb.
Perbedaan ekonomis
sangat peka karena menyangkut suatu kebutuhan yang begitu mendasar, maka sesaat
pemenuhan kebutuhan itu terancam atau dipersulit suatu reaksi emosionil dapat
muncul dengan mudah. Boleh saja kita semua diajak untuk bertoleransi, untuk
saling menghargai, dan bahwa kita semua dapat setuju sekali dengan ajakan itu,
namun kenyataan pula bahwa niat baik demikian mudah dilupakan sesaat nafkah
kita terancam, atau sesaat kita melihat bahwa satu menjadi begitu kaya
sedangkan yang lain terpaksa hidup pas-pasan saja dan tidak dapat makan tiga
kali sehari (kenyataan bagi banyak warga di sela-sela dan pinggiran kota).
Kenyataan ini
tidak saja menyangkut perbedaan kelompok (asli atau tidak), melainkan juga
terasa antar suku (yang dari Pantai Utara dan yang dari Pegunungan Tengah,
misalnya), antar famili, dsbgnya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang yang
mempunyai kedudukan yang memungkinkan akan mencari ‘orang-orangnya’ untuk ikut
kerja, maka orang/kelompok lain merasa disingkirkan walau mungkin lebih mampu.
Perbandingan selalu ada, bukan saja dari segi ada-tidaknya nafkah yang cukup
sehari-hari, melainkan juga di tingkat peluang akan pendidikan, perawatan
medis, perolehan pekerjaan, dsbnya.
Sumber konflik
tersebut masih diperkuat oleh tiga unsur lain yang sangat menonjol dewasa ini:
perebutan kedudukan, mental proyek dan kerusakan lingkungan.
[1] Perebutan kedudukan
Salah satu hal
yang cukup memprihatinkan selama tahun-tahun terakhir ini adalah niat banyak
orang untuk mencari ‘kursi’; peluang untuk itu terbuka lebar dengan adanya
pemekaran wilayah di segala tingkat (kecamatan, kabupaten, malahan provinsi).
Apalagi menjelang musim pemilu seperti kita alami pada saat ini. Memang tidak
buruk juga kalau ada yang mempunyai ambisi dan rasa senang agar dihormati
sebagai ‘anggota DPR-D’ atau sejenisnya, namun yang mengganggu banyak
masyarakat kecil ialah bahwa sekali kedudukan diperoleh, kedudukan tersebut
kurang diandalkan untuk melayani kepentingan masyarakat luas. Akhirnya
menimbulkan kekecewaan dan menjadi sumber konflik tersendiri. Apalagi akibatnya
yang sangat negatif terhadap berfungsinya segala macam struktur pemerintahan
sehingga institusi-institusi kelihatan lumpuh begitu saja, dan kepercayaan
masyarakat kepada aparat pemerintahan makin hari makin hilang. Maka, sangat
mendesaklah bila para pemimpin (mereka yang berkedudukan tinggi) mengadakan
refeksi diri secara jujur dan sepantasnya bertobat kalau tidak ingin membawa
masyarakat di Papua menuju tebing jurang yang sangat dalam.
[2] Mental proyek
Perkembangan yang digambarkan secara singkat di atas masih diperkuat
dengan suatu “kebudayaan” lain, yakni: budaya mental proyek. Sering ada kesan
bahwa tidak dapat mengharapkan pelayanan atau kegiatan apa-apa kalau tidak “diproyekkan”
dulu. Dalih “tidak ada uang” sering terdengar, maka orang “lipat tangan” saja
dan menunggu, tanpa mengandalkan kekuatan yang ada pada diri sendiri.
Mentalitas ini bukan khas di kalangan mereka yang berkuasa saja, namun sudah
menjadi suatu “penyakit sosial” di segala lapisan masyarakat. Coba amati saja
di sekitar lembaga pemerintahan dimana banyak warga biasa menenteng map berisi
proposal dan masuk dari kantor ke kantor. Dalam suasana tersebut banyak
masyarakat dididik menjadi pengemis (mengandalkan proposal!), sedangkan mereka
yang berkuasa semakin berminat untuk menjadi pimpinan proyek sambil menikmati
hasilnya. Sudah tentu bahwa hal ini membuka pintu lebar-lebar bagi tumbuhnya
‘budaya korupsi’ tanpa (tahu) rasa malu lagi, sedangkan banyak warga masyarakat
makin kehilangan harga diri serta percaya diri. Dalam suasana demikian,
akhirnya kepentingan pribadi lebih dimenangkan daripada kepentingan kita
bersama; apalagi dengan penerimaan adanya ‘budaya korupsi’ ini, kita kehilangan
suatu pegangan nilai mengenai apa yang benar dan apa yang tidak benar.
[3] Pemeliharaan lingkungan
Dalam kesadaran
masyarakat tradisional lingkungan mengambil tempat yang sangat menentukan.
Tanah dinilai sebagai IBU, sebagai sumber hidup, dan jaminan untuk masa depan.
Kesadaran ini begitu jelas ditunjukkan di masa yang lampau dimana orang dapat hidup dalam suatu keharmonisan dengan semesta
alam, yang dewasa ini makin ditekan sampai hampir hilang. Daripada dihayati
sebagai ‘lingkungan hidup’ yang vital dan yang perlu dilestarikan demi
kehidupan anak cucu, dewasa ini segala kekayaan alam mulai didekati sebagai
sumber keuntungan (unsur ekonomis melulu), yang dimanfaatkan tanpa batas.
Cerita banyak mengenai hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena
kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari
Jakarta” untuk mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan
mengenai kekurangan air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk
kelancaran persediaan air sudah habis ditebang. Dalam salah satu laporan
baru-baru ini dicatat bahwa hutan di Papua mengalami kerusakan yang parah.
Laporan ini menyatakan bahwa setiap bulan Papua kehilangan 600.000 kubik meter
kayu karena penebangan yang tidak sah (berarti 7.2 juta kubik meter per tahun).
Mengingat setiap kubik meter kayu bernilai Rp. 850.000, maka Papua mengalami kerugian
Rp. 510.000.000.000 setiap tahun karena perdagangan kayu secara illegal.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun oleh masyarakat di
wilayah utara Papua, dan penangkapan ikan oleh warga Indonesia maupun Asing
dengan menggunakan ‘pukat harimau’ adalah suatu contoh kerusakan lainnya.
Ditambah lagi dengan usaha yang dijalankan oleh perusahaan seperti Freeport.
Ternyata tidak ada yang menjaga kelestarian lingkungan hidup kita. Dengan sedih
dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup kita makin kurang aman karena prinsip
keuntungan ekonomis diutamakan dari segala nilai lainnya (termasuk diatas
keselamatan jiwa – bdk. apa yang terjadi di wilayah pengoperasian Freeport
bulan Oktober 2003). Apalagi keuntungan untuk siapa? Tidak mengherankan bila
banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja
dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang
merugikan kehidupan kita bersama.
SUASANA SOSIAL
POLITIK
Pastilah daftar
sumber konflik di Papua tidak lengkap kalau tidak ditarik perhatian pada
suasana sosial politik yang berkembang selama ini. Sering dikatakan supaya
‘gereja jangan berpolitik’, dan hal itu dapat dimengerti karena arena politik
memang rumit dan penuh kepentingan maka tidak dapat ditangani oleh sembarang
orang atau lembaga; apalagi dalam arena politik kita sering berurusan dengan
kekuasaan (memerintah), sedangkan gereja lebih diharapkan menjadi pelayan
melulu tanpa memihak pada kepentingan partai atau pihak tertentu. Namun
demikian gereja tidak luput dari perhatian pastoral menyangkut nasib umat dan
masyarakat. Seperti Santo Fransiskus dari Asisi berdoa: ‘Jadikanlah daku pembawa damai dimana ada orang berperang;
jadikanlah daku pembawa cinta dimana orang saling membenci, jadikanlah daku pembawa
hiburan dimana orang ditindas’, dst. Gereja perlu berperan dalam suasana sosial
politik dimana umat terpecah-pecah antara yang pro-otonomi dan pro-merdeka
(malahan didalam keluarga) atau antara pro-pemekaran dan anti-pemekaran; dimana
orang yang tak berdosa masih dapat dituduh, disiksa sampai dibunuh tanpa
melalui suatu proses pengadilan yang wajar seperti baru ini masih terjadi di
sekitar Wamena seusai peristiwa pembongkaran gudang senjata (bulan April 2003);
dimana suara masyarakat kecil mudah dibungkam oleh yang main kuasa. Dalam hal
demikian gereja tidak berperan karena ingin melayani salah satu kepentingan
partai politik atau kelompok tertentu, melainkan untuk turut menjaga supaya
sejumlah nilai dasar kehidupan kita bersama tetap diakui, dihargai, dan
ditegakkan. Memang suasana sosial politik di Papua menuntut peranan yang nyata
dari lembaga-lembaga keagamaan, selama hak-hak dasar orang masih tidak diakui
dan tiadanya penegakan hukum. Kita semua tentu masih ingat pada segala macam
indikasi pelanggaran HAM seperti dalam kasus Biak (1998), kasus Abepura (2000),
kasus Wamena (2000), kasus Merauke (2000), kasus pembunuhan Theys (2001), kasus
Wasior (2001), kasus Wamena (2003), kasus Timika (2003), dsbnya. Siapa yang
dapat merasa aman dalam suasana politik semacam itu? Bagaimana mungkin suasana
demikian tidak menjadi tanah subur untuk berkonflik, baik antar saudara maupun
antar masyarakat dengan pihak yang berkuasa?
Suasana sosial
politik di Papua sering dinilai rawan. Memang benar juga karena selama puluhan
tahun masyarakat terpaksa diam, walaupun menderita secara tidak wajar. Apalagi
sejarah masyarakat Papua penuh tandatanya menyangkut penghargaan dan pengakuan
akan jati diri orang Papua serta hak dasarnya untuk turut menentukan nasibnya.
Banyak orang dapat bercerita mengenai berbagai macam peristiwa tragis: “bapa
dibunuh di kali, ibu dan adik perempuan diperkosa, kampung-kampung
dibumihanguskan, hutan sagu dihabiskan dan diganti dengan rumah-rumah
transmigrasi, perusahaan masuk tanpa bicara”, dsb. Ingatan penderitaan (memoria
passionis) itu begitu hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga
menjadi ingatan kolektif. Wajar bahwa
akhirnya masyarakat diberikan keleluasaan untuk bicara dan mengemukakan aspirasinya,
mimpinya. Wajar pula bahwa tidak semua sependapat sehingga munculah ketegangan
dan konflik. Namun entah bagaimana isi konfliknya, selalu perlu dipertanyakan
mengapa orang bereaksi demikian? Apa yang terjadi di masa lampau yang membuat
orang protes? Kiranya tidak membantu kalau setiap protes diremehkan dan dicap
seakan-akan hanyalah merupakan suatu ungkapan separatis belaka, apalagi kalau
protes yang damai dijawab dengan kekerasan saja. Penggunaan kekerasan hanya
memperparah konflik yang sudah ada. Tindakan demikian tetap tidak mengakui hak
dasar orang atas kebebasan berpendapat.(yesaya koteka goo)
Tidak ada komentar: